1.
Nama : AL-GHAZALI
Biografi : Nama asli Imam al-Ghazali ialah Muhammad bin Ahmad,
Al-Imamul Jalil, Abu Hamid Ath Thusi Al-Ghazali. Lahir di Thusi daerah Khurasan
wilayah Persia tahun 450 H (1058 M). Pekerjaan ayah Imam Ghazali adalah
memintal benang dan menjualnya di pasar-pasar. Ayahnya termasuk ahli tasawuf
yang hebat, sebelum meninggal dunia, ia berwasiat kepada teman akrabnya yang
bernama Ahmad bin Muhammad Ar Rozakani agar dia mau mengasuh al-Ghazali. Maka
ayah Imam Ghazali menyerahkan hartanya kepada ar-Rozakani untuk biaya hidup dan
belajar Imam Ghazali.[1]Ia wafat di Tusia, sebuah kota tempat kelahirannya pada
tahun 505 H (1111 M) dalam usianya yang ke 55 tahun.
Pada masa kecilnya ia mempelajari ilmu fiqh di negerinya sendiri pada Syekh
Ahmad bin Muhammad Ar-Rozakani (teman ayahnya yang merupakan orang tua asuh
al-Ghazali), kemudian ia belajar pada Imam Abi Nasar Al-Ismaili di negeri
Jurjan. Setelah mempelajri beberapa ilmu di negerinya, maka ia berangkat ke
Naishabur dan belajar pada Imam Al-Haromain. Di sinilah ia mulai
menampakkantanda-tanda ketajaman otaknya yang luar biasa dan dapat menguasai beberapa
ilmu pengetahuan pokok pada masa itu seperti ilmu matiq (logika), falsafah dan
fiqh madzhab Syafi’i.
Karya : Sebagai
seorang ulama dan pemikir dalam dunia Islam, tentunya ia sangat tekun untuk menulis kitab. Jumlah kitab yang ditulis
al-Ghazali sampai
sekarang belum disepakati secara definitif oleh para penulis sejarahnya.
Menurut Ahmad Daudy, penelitian paling akhir tentang berapa jumlah buku yang dikarang oleh al-Ghazali seperti
halnya yang dilakukan
oleh Abdurrahman Al-Badawi, yang hasilnya dikumpulkan dalan satu buku yang berjudul Muallafat Al-Ghazali.Dala buku
tersebut, Abdurrahman mengklasifikasikan kitab-kitab yang
ada hubungannya
dengan karya al-Ghazali dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok kitab yang dapat dipastikan sebagai karya
al-Ghazali yang terdiri atas 72 buah kitab. Kedua, kelompok kitab yang
diragukan sebagai
karyanya yang asli terdiri atas 22 kitab. Ketiga, kelompok kitab
yang dapat dipastikan bukan karyanya, terdiri atas 31 buah kitab.
Mengenai
kitab-kitab yang ditulis oleh al-Ghazali meliputi bidang ilmu yang
populer pada zamannya, di antaranya tentang tafsir al-Qur’an, ilmu
kalam, ushul fiqh, fiqih, tasawuf, mantiq, falsafat, dan lainnya.
Pandangannya terhadap Tuhan:
Mengenai Iradat Tuhan bahwa
kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia
itu berasal dari iradat (kehendak) tuhan semat-mata, tidak bisa
terjadi dengan sendirinya. Iradat tuhan itulah yang diartikan
penciptaan. Iradat itu menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu pihak
merupakan undang-undang, dan di lain pihak merupakan zarah-zarah
(atom-atom) yang masih abstrak. Penyesuaian antara zarah-zarah yang
abstrak dengan undang-undang itulah yang merupakan dunia dan kebiasaanya
yang kita lihat ini.
Iradat tuhan adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu dan
ruang, tetapi dunia yang diciptakan itu seperti yang dapat ditangkap dan
dikesankan pada akal (intelek) manusia, terbatas dalam pengertian ruang
dan waktu. Al-Ghazali menganggap bahwa tuhan adalah transenden,
tetapi kemauan iradatnya imanen di atas dunia ini, dan merupakan
sebab hakiki dari segala kejadian.
Pengikut Aristoteles, menamakan suatu peristiwa sebagai
hukum pasti sebab dan akibat (hukum kausalitas), sedangkan Al-Ghazali
seperti juga
Al-Asy’ari berpendapat bahwa suatu peristiwa itu adalah iradat Tuhan,
dan Tuhan tetap bekuasa mutlak untuk menyimpangkan dari kebiasaan-kebiasaan sebab dan akibat tersebut. Sebagai
contoh, kertas tidak mesti terbakar oleh api, air tidak mesti membasahi
kain. Semua ini
hanya merupakan adat (kebiasaan) alam, bukan suatu kemestian. Terjadinya segala sesuatu di dunia ini karena kekuasaan dan
kehendak Allah semata. Begitu juga dengan kasus tidak terbakarnya
Nabi Ibrahim ketika dibakar dengan api.
Mereka menganggap hal itu tidak mungkin, kecuali dengan menghilangkan sifat membakar dari
api itu atau
mengubah diri (zat) Nabi Ibrahim menjadi suatu materi yang tidak bisa terbakar oleh api.
2.
Nama :
Mulla Shadra
(1571-1640 M.)
Biografi : Nama
lengkapnya adalah Muhammad bin Ibrahim bin Yahya al- Qawami al-Syirazy, yang bergelar ‘Shadr al-Din’ dan lebih
popular dengan
sebutan Mulla Shadra atau Shard al-Muta’alihin, dan dikalangan murid-murid serta pengikutnya disebut ‘Akhund’.
Dia dilahirkan
di Syiraz sekitar tahun 979-80 H/ 1571-72 M dalam sebuah keluarga
yang cukup berpengaruh dan terkenal, yaitu keluarga Qawam. Ayahnya
adalah Ibrahim bin Yahya al-Qawami al-Syirazy salah seorang yang berilmu dan saleh, dan dikatakan pernah
menjabat sebagai
Gubernur Propinsi Fars. Secara sosial-politik, ia memiliki kekuasaan
yang istimewa di kota asalnya, Syiraz.
Pendidikan
formal Mulla Shadra tampaknya telah mempersiapkan dirinya untuk mengemban tugas yang maha besar ini. Mengikuti
penjelasannya
sendiri dalam Al-Asfhar Al-Arba’ah, para sejarawan membagi
biografi Mulla Shadra ke dalam tiga periode: Periode pertama,
pendidikan formalnya berlangsung di
bawah guru-guru terbaik pada zamannya. Tidak sama seperti filosof lainnya,
dia menerima
pendidikan dari tradisi Syiah: fiqih Ja’fari, ilmu hadis, tafsir dan
syarah Al-Qur’an di bawah bimbingan Baha‘uddin al-‘amali (w. 1031
H/1622 M), yang meletakkan dasar fiqih-baru Syi’ah. Selanjutnya ia belajar pada filosof peripatetik Mir
Fenderski (w. 1050 H/1641
M) namun gurunya yang utama adalah teolog-filosof, Muhammad yang dikenal sebagai Mir Damad (1041 H/1631 M). Damad
nampaknya merupakan pemikir papan atas yang mempunyai orisinilitas dan juga dijuluki Sang Guru Ketiga (setelah
Aristotles dan Al-Farabi)
Karya : Mulla Shadra menulis sekitar 50 buku, 32 diantaranya
berbentuk risalah. Yang terbesar sekaligus merupakan
magnum opus-nya adalah al-Hikmah al- Muta’aliyah fi al-Asrar
al-Aqliyah al-Arba’ah
(Hikmah Agung tentang empat
Perjalanan Akal).
Karya ini pertama kali terbit tahun 1873 M. terdiri dari 4 jilid besar. Bagian I membahas
tentang soal ontologi, baian II menguraikan substansi dan
aksidensi, bagian III menjelaskan tentang Tuhan dan sifat-sifatnya, bagian IV menguraikan manusia
dan nasibnya. Karya yang lain diantaranya, al-Hikmah
al-Arsyiyah (tentang Tuhan dan eskatologi), Risalah fi ittihad al-aqil wa
al-Ma’qul (soal epistemologi), Ta’liqat ala Syarh Hikmah
al-Isyraq (komentar
terhadap filsafat iluminatif), Ta’liqat ala Ilahiyyat Kitab
al-Syifa’I
(komentar terhadap kitab Asyifa’ Ibnu Sina), Risalah al-Mazaj
(tentang psikologi), Mafatih al-Ghaib (tentang doktrin gnostik)
Pandanganya terhada Tuhan: Munculnya
satu jenis filsafat Eksistensialime Islam, yang secara
resmi di sebut dengan ashalat al- wujud. Pendiri mazhab filsafat ini adalah Shadr al- Dien Syirazi (Mulla Sadra) yang menyebut metodologi pemikirannya metafilsafat (al-
Hikmat al-Muta’aliyah)[1][6]
Maksud (al-ashâlah al-wujud) dalam filsafat Mulla Shadra adalah bahwa setiap wujud kontingen (mumkin al-wujud) terjadi
atas dua modus (pola perwujudan): eksistensi dan kuiditas (esensi). Dari kedua modus itu, yang benar-benar hakiki (real) secara mendasar adalah
eksistensi, sedangkan kuaditas (esensi ) tidak lebih dari “penampakan”
(apperiance) belaka.
3.
Nama :
AL-KINDI
Biografi :
seorang ulama filsuf (filosof) muslim pertama keturunan arab yang
memiliki nama lengkap:
Abu
Yusuf Yakub ibn Ishaq ibn al-Sahabbah ibn
Imran ibn Muhammad ibn al-Asy`as ibn Qais ibn al-Kindi. Lebih
populer
di kampus-kampus dan seminar-seminar filsafat dengan
sebutan
al-Kindi, dinisbatkan kepada
Kindah yaitu suatu kabilah
terkemuka
pra Islam yang merupakan cabang dari
Bani Kahlan yang
menetap di
Yaman.
Tidak ada kepastian
tentang tanggal kelahiran, kematian dan siapa-
siapa saja ulama yang pernah
menjadi
guru Al-Kindi. kecuali kepastian
bahwa
ia dilahirkan di
Kufah sekitar tahun 185 H atau 801 M dari
pasukan
Persia di Irak. Sedangkan ayahnya
Ishaq ib al-Shabbah adalah
seorang
gubernur di Kufah pada masa
pemerintahan Al-Mahdi (775-
785
M) dan
Al-Rasyid (786-809 M). Ayahnya wafat ketika al-Kindi
pasangan keluarga kaya dan
terhormat. Kakek buyutnya,
al-Asy`as ibn Qais
adalah salah seorang sahabat nabi yang gugur bersama
Sa`ad ibn Abi
Waqqas dalam perang jihad antara Kaum Muslimin dengan
masih
kanak-kanak, namun ia tetap mendapatkan kesempatan
menuntut
ilmu dengan baik di
Bashroh dan
Baghdad serta dapat
bergaul dengan
para
pemikir Islam terkenal masa itu
Karya :
☛Kitab
Al-Kindi ilaa Al-Mu`tashim Billah fi al-Falsafah al-Ula (buku ini membahas tentang
kajian filsafat pertama)
☛Kitab
al-Falsafah al-Dakhilat wa al-Masa`il al-Manthiqiyyah wa al- Muqtashah wa ma Fawqa al-Thabi`iyyah (membahas kajian
filsafat dan berbagai masalah yang berhubungan dengan logika, muskil,
dan metafisika)
☛Risalah
al-Hikmiyah fi Asrar al-Ruhaniyyah (membahas berbagai rahasia spiritual dengan bahasa filosofis)
☛Risalah
fi Annahu al-Jawahir la Ajsam (mengkaji tentang substansi- substansi tanpa badan)
☛Kitab
fi Ibarah al-Jawami` al-Fikriyah (Menganalisa tentang ungkapan-ungkapan mengenai ide-ide komprejensif)
Pandanganya
terhadap Tuhan: Ketuhanan menurut al-Kindi, Tuhan tidak mempunyai
hakekat dalam arti aniah sebab Tuhan tidak tersusun dari materi dan
bentuk serta tidak termasuk dalam benda-benda yg ada di alam, bahkan Tuhan
adalah sang pencipta alam. Tuhan juga tidak mempunyai hakekat dalam pengertian
mahiah sebab Tuhan tidak termasuk dalam species dan genus.
Tuhan adalah wujud yg maha sempurna dan tidak didahului oleh wujud lain. Tuhan
adalah Unik dan menjadi al-Haq al-Awwal. Wujud Tuhan tidak pernah berakhir,
sedangkan wujud lain ada karena ada wujud Tuhan. Tuhan adalah al-Haq al-Wahid
yg mahaesa yang tidak dapat dibagi-bagi dan tidak ada zat lain yang menyerupai
Tuhan dalam hal apapun. Selain tuhan, akan mengandung arti banyak dan menjadi
bagian dari golongan species dan genus. Tuhan tidak dilahirkan dan
tidak pula melahirkan.Tidak dapat dipungkiri bahwa
pemikiran filsafat Islam terpengaruh oleh filsafat Yunani. Filosof-filosof
Islam banyak mengambil pikiran Aristoteles dan sangat tertarik dengan
pikiran-pikiran Plotinus sehingga banyak teorinya yang diambil. Memang
demikianlah keadaan orang yang datang kemudian, terpengaruh oleh orang-orang
sebelumnya dan berguru kepada mereka. Kita saja yang hidup pada abad ke-20 ini,
dalam banyak hal masih berhutang budi kepada orang-orang Yunani dan Romawi.
Akan tetapi berguru tidak berarti mengekor dan hanya mengutip, sehingga harus
dikatakan bahwa filsafat Islam itu hanya kutipan semata-mata dari Aristoteles,
seperti apa yang dikatakan Renan, atau dari neo-Platonisme, seperti yang
dikatakan Duhem, karena filsafat Islam telah menampung dan mempertemukan
berbagai aliran pemikiran. Kalau filsafat Yunani merupakan salah satu
sumbernya, maka tidak aneh kalau kebudayaan India dan Iran juga menjadi
sumbernya pula.Perpindahan dan pertukaran pikiran
tidak selalu berarti berhutang budi. Sesuatu persoalan kadang-kadang
dibicarakan dan diselidiki oleh orang banyak dan hasilnya dapat mempunyai
bermacam-macam corak: seseorang bisa mengambil persoalan yang pernah
dikemukakannya oleh orang lain sambil mengemukakan teori dan pikirannya
sendiri.Spinoza misalnya, meskipun banyak mengikuti Descartes, namun
ia mempunyai mazhabnya sendiri. Ibnu Sina, meskipun murid
yang setia dari Aristoteles, namun ia mempunyai pikiran-pikiran yang berlainan.
4.
Nama : IBNU SINA
Biografi : Ibnu
Sina dilahirkan dalam masa kekacauan, dimana Khilafah Abbasiyah mengalami
kemunduran, dan negeri-negeri yang mula-mula berada di bawah kekuasaan khilafah
tersebut mulai melepaskan diri satu persatu untuk berdiri sendiri. Kota Baghdad
sendiri, sebagai pusat pemerintahan Khilafah Abbasiyah, dikuasai oleh golongan
Bani Buwaih pada tahun 334 H dan kekuasaan mereka berlangsung terus sampai
tahun 447 H.
Hidup Ibnu Sina penuh dengan
kesibukan bekerja dan mengarang; penuh pula dengan kesenangan dan kepahitan hidup
bersama-sama, dan boleh jadi keadaan ini telah mengakibatkan ia tertimpa
penyakit yang tidak bisa diobati lagi. Pada tahun 428 H (1037 M), ia meninggal
dunia di Hamadzan, pada usia 58 tahun.
Di antara daerah-daerah yang berdiri
sendiri ialah Daulah Samani di Bukhara, dan di antara khalifahnya ialah Nuh bin
Mansur. Pada masanya, yaitu di tahun 340 H (980 M), di suatu tempat yang
bernama Afsyana, daerah Bukhara, Ibnu Sina dilahirkan dan dibesarkan. Di
Bukhara ia menghafal Qur’an dan belajar ilmu-ilmu agama serta ilmu astronomi,
sedangkan usianya baru sepuluh tahun. Kemudian ia mempelajari matematika,
fisika, logika dan ilmu metafisika. Sesudah itu ia mempelajari ilmu kedokteran
pada Isa bin Yahya, seorang Masehi.
Belum lagi usianya melebihi
enam-belas tahun, kemahirannya dalam ilmu kedokteran sudah dikenal orang,
bahkan banyak orang yang berdatangan untuk berguru kepadanya. Ia tidak cukup
dengan teori-teori kedokteran, taoi juga melakukan praktek dan mengobati
orang-orang sakit.
Sebenarnya hidup Ibnu Sina tidak
pernah mengalami ketenangan, dan usianya pun tidak panjang. Meskipun banyak
kesibukan-kesibukannya dalam urusan politik, sehingga ia tidak banyak mempunyai
kesempatan untuk mengarang, namun ia telah berhasil meninggalkan berpuluh-puluh
karangan atau
karyanya.
Karya :
Asy-Syifa. Buku ini adalah buku
filsafat yang terpenting dan terbesar dari Ibnu Sina, dan trediri dari enpat
bagian, yaitu: logika, fisika, matematika, dan metafisika (ketuhanan).
a.
An-Najat. Buku ini merupakan keringkasan
buku as-Syifa, dan pernah diterbitkan bersama-sama dengan buku al-Qanun dalam
ilmu kedokteran pada tahun 1593 M di Roma dan pada tahun 1331 M di Mesir.
b.
Al-Isyarat wat-Tanbihat. Buku ini
adalah buku terakhir dan yang paling baik, dan pernah diterbitkan di Leiden
pada tahun 1892 M, dan sebagiannya diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis.
c.
Al-Hikmat al-Masyriqiyyah. Buku ini
banyak dibicarakan orang, karena tidak jelasnya maksud judul buku, dan
naskah-naskahnya yang masih ada memuat bagian logika.
d. Al-Qanun, atau Canon of Medicine, menurut penyebutan
orang-orang Barat. Buku ini pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan
pernah menjadi buku standar untuk universitas-universitas Eropa sampai akhir
abad ketujuhbelas Masehi
Pandanganya terhadap Tuhan: Ibnu Sina memberikan perhatiannya yang khusus terhadap
pembahasan kejiwaan, sebagaimana yang dapat kita lihat dari buku-buku yang
khusus untuk soal-soal kejiwaan atau pun buku-buku yang berisi campuran
berbagai persoalan filsafat.
Pengaruh Ibnu Sina dalam soal
kejiwaan tidak dapat diremehkan, baik pada dunia piker Arab sejak abad
kesepuluh Masehi sampai akhir abad ke-19 Masehi, terutama pada Gundissalinus,
Albert the Great, Thomas Aquinas, Roger Bacon, dan Dun Scott. Bahkan juga ada
pertaliannya dengan pikiran-pikiran Descartes tentang hakikat jiwa dan
wujudnya.
5. Nama : IBNU BAJAH
Biografi :
Ia adalah Abu Bakar Muhammad bin
Yahya, yang terkenal dengan sebutan Ibnus-Shaigh atau Ibnu Bajah. Orang-orang
Eropa pada abad-abad pertengahan menamai Ibnu Bajah dengan “Avempace”,
sebagaimana mereka menyebut nama-nama Ibnu Sina, Ibnu Gaberol, Ibnu Thufail dan
Ibnu Rusyd, masing-masing dengan nama Avicenna, Avicebron, Abubacer, dan
Averroes.
Ibnu Bajah dilahirkan di Saragosta
pada abad ke-11 Masehi. Tahun kelahirannya yang pasti tidak diketahui, demikian
pula masa kecil dan masa mudanya. Sejauh yang dapat dicatat oleh sejarah ialah
bahwa ia hidup di Serville, Granada, dan Fas; menulis beberapa risalah tentang
logika di kota Serville pada tahun 1118 M, dan meninggal dunia di Fas pada
tahun 1138 M ketika usianya belim lagi tua. Menurut satu riwayat, ia
meninggal dunia karena diracuni oleh seorang dokter yang iri terhadap
kecerdasan, ilmu, dan ketenarannya.
Karya : Buku-buku yang ditinggalkannya ialah:
a.
Beberapa risalah dalam ilmu logika,
dan sampai sekarang masih tersimpan di perpustakaan Escurial (Spanyol).
b.Risalah tentang jiwa.
c.
Risalah al-Ittisal, mengenai
pertemuan manusia dan akal-faal.
d.
Risalah al-Wada’, berisi uraian
tentang penggerak-pertama bagi manusia dan tujuan yang sebenarnya bagi wujud manusia
dan alam.
e.
Beberapa risalah tentang ilmu falak
dan ketabiban.
f.
Risalah Tadbir al-Mutawahhid.
g.Beberapa ulasan terhadap buku-buku filsafat, antara lain
dari Aristoteles, al-Farabi, Porphyrus, dan sebagainya.
Menurut Carra de Vaux, di
perpustakaan Berlin ada 24 risalah manuskrip karangan Ibnu Bajah.
Pandanganya terhadap Tuhan: Diantara karangan-karangannya itu yang paling penting ialah risalah
Tadbir al-Mutawahhid yang membicarakan usaha-usaha orang yang menjauhi segala
macam keburukan masyarakat, yang disebutnya Mutawahhid, yang berarti
“penyendiri”. Isi risalah tersebut cukup jelas, sehingga memungkinkan kita
dapat mempunyai gambaran tentang usaha si penyendiri tersebut untuk dapat
bertemu dengan akal-faal dan menjadi salah satu unsur pokok bagi negeri
idam-idamannya.
Ibnu Bajah telah memberi corak baru
terhadap filsafat Islam di negeri Islam barat dalam teori ma’rifat
(epistemology, pengetahuan), yang berbeda sama sekali dengan corak yang telah
diberikan oleh al-Ghazali di dunia timur Islam, setelah ia dapat menguasai
dunia pikir sepeninggal filosof-filosof Islam.
6.
Nama :
IBNU THUFAIL
Biografi : Ia
adalah Abubakar Muhammad bin Abdul Malik bin Thufail, dilahirkan di Wadi Asy
dekat Granada, pada tahun 506 H/1110 M. kegiatan ilmiahnya meliputi kedokteran,
kesusasteraan, matematika dan filsafat. Ia menjadi dokter di kota tersbut dan
berulangkali menjadi penulis penguasa negerinya. Setelah terkenal, ia menjadi
dokter pribadi Abu Ya’kub Yusuf al-Mansur, khalifah kedua daru daulah
Muwahhidin. Dari al-Mansur ia memperoleh kedudukan yang tinggi dan dapat
mengumpulkan orang-orang pada masanya di istana Khalifah itu, di antaranya
ialah Ibnu Rusyd yang diundang untuk mengulas buku-buku karangan Aristoteles.
Karya :Buku-buku
biografi menyebutkan beberapa karangan dari Ibnu Thufail yang menyangkut
beberapa lapangan filsafat, seperti filsafat fisika, metafisika, kejiwaan dan
sebagainya, disamping risalah-risalah (surat-surat) kiriman kepada Ibnu Rusyd.
Akan tetapi karangan-karangan tersebut tidak sampai kepada kita, kecuali satu
saja, yaitu risalah Hay bin Yaqadhan, yang merupakan intisari pikiran-pikiran
filsafat Ibnu Thufail, dan yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.
Suatu manuskrip di perpustakaan Escurrial yang berjudul Asrar al-Hikmat
ai-Masyriqiyyah (Rahasia-rahasia Filsafat Timur) tidak lain adalah bagian dari
risalah Hay bin Yaqadhan.
Pandanganya terhadap Tuhan: Ibnu Thufail tergolong filosof dalam masa Skolastik
Islam. Pemikiran kefilsafatannya cukup luas, termasuk metafisika. Dalam
pencapaian Ma’rifatullah, Ibnu Thufail menempatkan sejajar antara akal dan
syari’at. Pemikiran tersebut sebenarnya merupakan upaya yang tidak pada
tempatnya, sebab syari’at sumbernya adalah wahyu (yakni : dari Tuhan),
sedangkan akal merupakan aktifitas manusiawi. Akal manusia sebenarnya hanyalah
dampak mencari alasan rasional bagi syari’at mengenai dalil-dalil adanya Tuhan.
7. Nama : IBNU RUSYD
Biografi :
Nama lengkapnya Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, lahir di Cordova pada
tahun 520 H. Ia berasal dari kalangan keluarga besar yang terkenal dengan
keutamaan dan mempunyai kedudukan tinggi di Andalusia (Spanyol). Ayahnya adalah
seorang hakim, dan kakeknya yang terkenal dengan sebutan “Ibnu Rusyd kakek”
(al-Jadd) adalah kepala hakim di Cordova.
Ibnu
Rusyd adalah seorang ulama besar dan pengulas yang dalam terhadap
filsafat Aristoteles. Kegemarannya terhadap ilmu sukar dicari bandingannya,
karena menurut riwayat, sejak kecil sampai tuanya ia tidak pernah terputus
membaca dan menelaah kitab, kecuali pada malam ayahnya meninggal dan dalam
perkawinan dirinya.
Karya :Karangannya meliputi berbagai ilmu, seperti: fiqih, ushul,
bahasa, kedokteran,
astronomi, politik, akhlak, dan filsafat. Tidak kurang dari sepuluh
ribu lembar yang telah ditulisnya. Buku-bukunya adakalanya merupakan
karangan sendiri, atau ulasan, atau ringkasan. Karena sangat tinggi penghargaannya terhadap Aristoteles, maka
tidak mengherankan
kalau ia memberikan perhatiannya yang besar untuk mengulaskan dan meringkaskan filsafat Aristoteles. Buku-buku
lain yang
telah diulasnya ialah buku-buku karangan Plato, Iskandar Aphrodisias,
Plotinus, Galinus, al-Farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali, dan Ibnu
Bajah.
Buku-bukunya
yang lebih penting dan yang sampai kepada kita ada empat,
yaitu:
a.
Bidayatul Mujtahid, ilmu fiqih. Buku
ini bernilai tinggi, karena berisi perbandingan mazhabi (aliran-aliran) dalam
fiqih dengan menyebutkan alasannya masing-masing.
b.
Faslul-Maqal fi ma baina al-Hikmati
was-Syari’at min al-Ittisal (ilmu kalam). Buku ini dimaksudkan untuk
menunjukkan adanya persesuaian antara filsafat dan syari’at, dan sudah pernah
diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman pada tahun 1895 M oleh Muler, orientalis
asal Jerman.
c.
Manahijul Adillah fi Aqaidi Ahl
al-Millah (ilmu kalam). Buku ini menguraikan tentang pendirian aliran-aliran
ilmu kalam dan kelemahan-kelemahannya, dan sudah pernah diterjemahkan ke
dalam bahasa Jerman, juga oleh Muler, pada tahun 1895 M.
d.
Tahafut at-Tahafut, suatu buku yang
terkenal dalam lapangan filsafat dan ilmu kalam, dan dimasukkan untuk membela
filsafat dari serangan al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah. Buku
Tahafut at-Tahafut berkali-kali diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, dan
terjemahannya ke dalam bahasa Inggris oleh van den Berg yang terbit pada tahun
1952 M.
Pandanganya terhadap Tuhan: Ibnu Rusyd adalah tokoh pikir Islam yang paling kuat, paling
dalam pandangannya, paling hebat pembelaannya terhadap akal dan filsafat,
sehingga ia benar-benar menjadi filosof-pikiran dikalangan kaum Muslimin.
Pada garis besar filsafatnya, ia
mengikuti Aristoteles dan berusaha mengeluarkan pikiran-pikirannya yang
sebenarnya dari celah-celah kata-kata Aristoteles dan ulasan-ulasannya. Ia juga
berusaha menjelaskan pikiran tersebut dan melengkapkannya, terutama dalam
lapangan ketuhanan, di mana kemampuannya yang tinggi dalam mengkaji berbagai
persoalan dan dalam mempertemukan antara agama dengan filsafat nampak
jelas kepada kita.
Ketika hendak meninggal, beliau
(Ibnu Rusyd) mengeluarkan kata-katanya yang terkenal:
“Akan
mati rohku karena matinya filosof”.
8.
Nama : AL-FARABI
Biografi : Ia adalah Abu Nashr Muhammad bin
Muhammad bin Tharkhan. Sebutan Al-Farabi diambil dari nama kota Farab, dimana
ia dilahirkan pada tahun 257 H (870 M). Ayahnya adalah seorang Iran dan kawin
dengan seorang wanita Turkestan. Kemudian ia menjadi perwira tentara Turkestan.
Karena itu, Al-Farabi dikatakan berasal dari keturunan Turkestan dan
kadang-kadang juga dikatakan dari keturunan Iran.
Sejak
kecilnya, Al-Farabi suka belajar dan ia mempunyai kecakapan luar biasa dalam
lapangan bahasa. Bahasa-bahasa yang dikuasainya antara lain bahasa Iran,
Turkistan, dan Kurdistan. Nampaknya ia tidak mengenal bahasa Yunani dan
Siriani, yaitu bahasa-bahasa ilmu pengetahuan dan filsafat pada waktu itu.
Setelah
besar, Al-Farabi meninggalkan negerinya untuk menuju kota Baghdad, pusat
pemerintahan dan ilmu pengetahuan pada masanya, untuk belajar antara lain pada
Abu Bisyr bin Mattius. Selama berada di Baghdad, ia memusatkan perhatiannya
kepada ilmu logika.
Al-Farabi
luas pengetahuannya, mendalami ilmu-ilmu yang ada pada masanya dan mengarang
buku-buku dalam ilmu tersebut. Buku-bukunya, baik yang sampai kepada kita
maupun yang tidak, menunjukkan bahwa ia mendalami ilmu-ilmu bahasa, matematika,
kimia, astronomi, kemiliteran, musik, ilmu alam, ketuhanan, fiqih, dan mantik.
Karya :
Sebagian besar karangan-karangan
Al-Farabi terdiri dari ulasan dan penjelasan terhadap filsafat Aristoteles,
Plato, dan Galenius, dalam bidang-bidang logika, fisika, etika, dan metafisika.
Meskipun banyak tokoh filsafat yang diulas pikirannya, namun ia lebih terkenal
sebagai pengulas Aristoteles.
Di
antara karangan-karangannya ialah:
a.
Aghradlu ma Ba’da at-Thabi’ah.
b.
Al-Jam’u baina Ra’yai al-Hakimain
(Mempertemukan Pendapat Kedua
Filosof; maksudnya Plato dan Aristoteles).
c.
Tahsil as-Sa’adah (Mencari
Kebahagiaan).
d.
‘Uyun al-Masail (Pokok-Pokok
persoalan).
e.
Ara-u Ahl-il Madinah al-Fadhilah
(Pikiran-Pikiran Penduduk Kota Utama Negeri Utama).
f.
Ih-sha’u al-Ulum (Statistik Ilmu).
Pandanganya terhadap Tuhan: Menurut Dr. Ibrahim Madkour, filsafat Al-Farabi adalah
filsafat yang bercorak spiritual-idealis, sebab menurut Al-Farabi, dimana-mana
ada roh. Tuhannya adalah Roh dari segala Roh. Akal yang dikonsepsikannya yaitu
‘Uqul Mufariqah (akal yang terlepas dari benda) merupakan makhluk rohani murni,
sedang kepala negeri- utamanya, menguasai badannya. Roh itu pula yang
menggerakkan benda-benda langit dan mengatur alam di bawah bulan.
Meskipun Al-Farabi telah banyak
mengambil dari Plato, Aristoteles dan Plotinus, namun ia tetap memegangi
kepribadian, sehingga pikiran-pikiranya tersebut merupakan filsafat Islam yang
berdiri sendiri, yang bukan filsafat stoa, atau Peripatetik atau Neo
Platonisme. Memeng bisa dikatakan adanya pengaruh aliran-aliran tersebut, namun
bahannya yang pokok adalah dari Islam sendiri.
9. Nama : AL-RAZI
Biografi : Nama lain Al-Razi adalah Abu Bakar Muhammad
Ibn Zakaria Ibn Yahya Al Razi. Dalam wacana keilmuan Barat dikenal dengan
sebutan Rhazes. Ia dilahirkan di Rayy, sebuah kota tua yang masa lalu bernama
Rhogee, dekat Teheran, Republik Islam Iran pada tanggal 1 Sya'ban 251H/ 865M.
Ada beberapa nama tokoh lain yang juga dipanggilkan Al-Razi, yakni Abu Hatim
Al-Razi, Fakhruddin Al-Razi dan Najmuddin Al-Razi. Oleh karena itu, untuk
membedakan Al-Razi, sang filosof ini dari tokoh-tokoh lain, perlu ditambahkan
dengan sebutan Abu Bakar, yang merupakan nama kun-yah-nya (gelarnya). [1] Pada
masa mudanya, ia menjadi tukang intan, penukar uang dan pemain musik (kecapi).
Kemudian, ia menaruh perhatian yang besar terhadap ilmu kimia dan
meninggalkannya setelah matanya terserang penyakit akibat eksperimen-eksperimen
yang dilakukannya. Setelah itu, ia beralih dan mendalami ilmu kedokteran dan
filsafat. Al-Razi terkenal sebagai seorang dokter yang dermawan, penyayang
kepada pasien-pasiennya, karena itu ia sering memberikan pengobatan cuma-cuma
kepada orang-orang miskin. Karena reputasinya di bidang kedokteran ini, Al-Razi
pernah diangkat menjadi kepala rumah sakit Rayy pada masa pemerintahan Gubernur
Al Mansyur Ibnu Ishaq ibn Ahmad selama enam tahun (290-296 H / 902-908 M). pada
masa ini juga Al-Razi menulis bukun al-Thibb al- Mansyuri yang dipersembahkan
kepada Mansyur Ibnu Ishaq ibn Ahmad. Dari Rayy kemudian Al-Razi ke Baghdad dan
atas permintaan Khalifah Al-Muktafi (289-295 H / 901-908 M), yang berkuasa pada
saat itu, ia memimpin rumah sakit di Baghdad. Kemasyhuran Al-Razi sebagai
seorang dokter tidak saja di Dunia Timur tapi juga di Barat, ia kadang-kadang
dijuluki The Arabic Galen. Setelah khalifah Al-Muktafi wafat, Al-Razi kembali
ke Rayy, dan kemudian ia berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri yang lain.
Meninggal dunia pada tanggal 5 Sya'ban 313 H/ 27 Oktober 925 M dalam usia 60
tahun. Disiplin ilmu Al-Razi meliputi ilmu falak, matematika, kimia,
kedokteran, dan filsafat. Ia lebih dikenal sebagai ahli kimia dan ahli
kedokteran dibanding sebagai seorang filosof.
Karya :
Al-Razi termasuk seorang filosof yang rajin belajar dan menulis. Bahkan ia
telah menulis tidak kurang 200 karya tulis dalam berbagai bidang ilmu
pengetahuan, tetapi banyak karya tersebut yang hilang. Karya-karya Al-Razi yang
dimaksud adalah :
1.
Kitab Al-Asrar (bidang kimia, diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Geard of
Cremon);
2.
Al-Hawi (merupakan ensiklopedia kedokteran sampai abad ke-XVI diEropa, setelah
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin tahun 1279 dengan judul Continens;
3.
Al-Mansuri Liber al-Mansoris (bidang kedokteran, 10 jilid);
4.
Kitab al-Judar wa al-Hasbah (tentang analisa penyakit cacar dan canpak serta
pencegahannya), sedangkan dalam bidang filsafat.
5.
Al-Thibb al-Ruhani;
6.
Al-Sirah al-Falsafiyyah;
7.
Amarah al-Iqbal al-Dawlah;
8.
Kitab al-Ladzdzah;
9.
Kitab al-'Ilm al-Illahi;
10.
Makalah fi ma ba'dengan al-Thabi'iyyah; dan
11. Al-Shukuk 'ala Proclus.
Pandanganya
terhadap Tuhan: Dalam
falsafatnya mengenai hubungan manusia dengan Tuhan, ia memandang kesenangan
manusia sebenarnya ialah kembali pada Tuhan dengan meninggalkan alam materi.
Untuk kembali ke Tuhan roh harus terlebih dahulu di sucikan dan yang dapat
menyucikan roh ialah ilmu pengetahuan dan berpantang mengerjakan beberapa hal.
Pemahaman al-Razi dekat menyerupai zahid (زَاهِدْ) dalam hidup kebendaan.
Tetapi ia menganjurkan moderasi, jangan terlalu mencari kesenangan. Manusia
harus menjauhi kesenangannya yang dapat diperoleh hanya dengan menyakiti orang
lain atau bertentangan dengan rasio. Tetapi sebaliknya manusia jangan pula
sampai tidak makan atau berpakaian, tetapi makan dan berpakaian sekedar untuk
memelihara diri.
10. Nama : IBNU MISKAWAIH
Biografi :
Nama lengkap beliau adalah Abu ‘ali al-Khazin ahmad bin ya’qub bin miskawaih,
dipanggil ibnu Miskawaih atau ibnu Maskawaih. Dia dilahirkan di Ray (Teheran),
mengenai tahunnya masih banyak kontroversi atasnya ada yang menyangka 330 H dan
ada juga yang mengatakan 325 H. Dia dilahirkan dalam masa bani Abbasiyyah. Ibnu
Maskawaih seorang keturunan Persia, yang konon dulunya keluarganya dan dia
beragama Majuzi dan pindah ke dalam Islam dan menjadi pemikir Islam sangat
berpengaruh dizamannnya. Ibnu Maskawaih berbeda dengan al-Kindi dan al-Farabi
yang lebih menekankan pada aspek metafisik, ibnu Maskawaih lebih pada tataran
filsafat etika seperti al-Ghazali.
Ibnu Maskawaih merupakan filsuf yang bergelar
guru ketiga setelah al-Farabi yang digelari guru kedua. Sebagai bapak etika
islam, beliau telah merumuskan dasar-dasar etika didalam kitabnya Tahdzib
al-Akhlaq wa Tathir al-A’raq (pendidikan budi dan pembersihan akhlaq).
Sementara itu sumber filsafat etika ibnu Maskawaih berasal dari filsafat
Yunani,peradaban Persia, ajaran Syariat Islam, dan pengalaman pribadi.
Akhlaq merupakan bentuk jamak dari Khuluq, yang
oleh beliau Khuluq dimaknai peri keadaan jiwa yang mengajaknya untuk melakukan
perbuatan-perbuatan tanpa difikirkan dan diperhitungkan sebelumnya. Sehingga
dapat dijadikan fitrah manusia maupun hasil dari latihan-latihan yang telah
dilakukan, hingga menjadi sifat diri yang dapat melahirkan khluq yang baik.
Menurutnya da kalanya manusia mengalami perubahan khuluq sehingga disana
dibutuhkan aturan-aturan syariat, nasehat-nasehat, dan ajaran-ajaran tradisi
terkait sopan santun.
Ibnu Maskawaih memperhatikan pula proses
pendidikan akhlaq pada anak, yang menurutnya kejiwaan anak-anak merupakan mata
rantai dari jiwa kebinatangan dan jiwa manusia yang berakal, namun jiwa
anak-anak menghilangkan jiwa binatang tersebut dan memunculkan jiwa kemanusiaannnya.
Jiwa manusia pada anak-anak mengalami proses perkembangan. Sementara itu syarat
utama kehidupan anak-anak adalah syarat kejiawaan dan syarat sosial. Sementara
nilai-nilai keutamaan yang hyarus menjadi perhatian ialah pada aspek jasmani
dan ruhani. Dan beliau pun mengharuskan keutamaan pergaulan anak-anak pada
sesamanya mestilah ditanamkan sifat kejujuran, qonaah, pemurah, suka mengalah,
mngutamakan kepentingan orang lain, rasa wajib taat, menghormati kedua orang
tua, dll.
Ibnu Maskawaih membedakan antara al-Khair
(kebaikan), dan as-sa’adah (kebahagiaan). Beliau mengambil alih konsep kebaikan
mutlak dari Aristoteles, yang akan mengantarkan manusia pada kebahagiaan
sejati. Menurutnya kebahagiaan tertinggi adalah kebijaksanaan yang menghimpun dua
aspek; aspek teoritis yang bersumber pada selalu berfikir pada hakekat wujud
dan aspek praktis yang berupa keutamaan jiwa yang melahirkan perbuatan baik.
Dalam menempuh perjalananannya meraih kebahagiaan tertinggi tersebut manusia
hendaklah selalu berpegangan pada nilai-nilai syariat, sebagai petunjuk jalan
mereka.
Pendapat ibnu Maskawaih mengenai jiwa, terdiri
atas 3 tingkatan annafsun baimiyah (nafsu kebinatangan), annafsun sabu’iyah
(nafsu binatang buas), dan annafsun nathiyah (jiwa yang cerdas). Mengenai
filsafat etika nya ibnu Maskawaih memiliki berbagai pernyataan: menurutnya
setiap manusia memiliki potensi asal yang baik dan tidak akan berubah menjadi
jahat, begitu pula manusia yang memiliki potensi asal jahat sama sekali tidak
akan cenderung kepada kebajikan, adapun mereka yang yang bukan berasal dari
keduanya maka golongan ini dapat beralih pada kebajikan atau kejahatan,
tergantung dengan pola pendidikan,pengajaran dan pergaulan.
Karya : beberapa kitab yang
berisikan tentang akhlaq yang merupakan karya
beliau kitab al-Fauz al-Akbar, kitab
Thaharat an-Nafs, dan kitab yang cukup terkenal kitab Tahdzib al-Akhlaq wa Tathir al-A’raq.
Pandanganya terhdap Tuhan: Ibnu
Maskawaih membedakan antara kebajikan dengan perasaan beruntung, menurutnya
kebajikan adalah yang dituju oleh seseorang dengan perasaan gembira. Kebajikan
memiliki dasar yakni perasaan cinta yang harus dimiliki seseorang terhadap
manusia seluruhnya. Manusia tidak akan mencapai kesempurnaannya kecuali dengan
kebersamaan. Ibnu Maskawaih menyatakan bahwa apabila agama dipelajari sungguh-sungguh maka sesungguhnya ia
merupakan mazhab akhlaq yang
berdasarkan cinta manusia dengan sesamanya, dan agama merupakan suatu latihan
akhlaq jiwa manusia.